Menginjak remaja, cucu Abu Bakar ini telah hafal Kitabullah dan menimba hadits-hadits dari bibinya, Aisyah Rodhiallahu 'anha
sebanyak yang dike hendaki Allah. Dia tekun mendatangi Al-Haram Nabawi
dan duduk dalam halaqah-halaqah ilmu yang terhampar di setiap
sudut-sudut masjid laksana bintang-bintang gemerlap yang bertaburan di
langit yang terang. Beliau menghadiri majlisnya Abu Hurairah, Abdullah
bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Ja'far,
Abdullah bin Khabbab, Rafi' bin Khudaij, Aslam pembantu Umar bin Khathab
dan sebagainya. Hingga pada gilirannya beliau menjadi imam mujtahid dan
menjelma menjadi manusia yang paling pandai dalam hal sunnah pada
zamannya, di mana ketika itu seseorang belumlah dianggap sebagai tokoh
sebelum dia mendalami sunnah-sunnah Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasallam.
Setelah sempurna perlengkapan ilmu pemuda yang merupakan cucu Abu
Bakar ini, orang-orang banyak belajar kepadanya dengan penuh perhatian.
Sementara beliau memberikan ilmunya tanpa pamrih atau jual mahal. Beliau
tak pemah absen untuk pergi ke masjid Nabawi setiap hari lalu shalat
dua rekaat tahiyatul masjid kemudian duduk di bekas tempat Umar Rodhiallahu 'anhu di Raudhah, yakni tempat antara kubur Nabi Sholallahu 'alaihi wasallam
dengan mimbarnya. Selanjutnya berkumpullah murid-muridnya dari segala
penjuru untuk menimba ilmu dari sumber yang segar dan bersih, melegakan
jiwa-jiwa yang haus akan ilmu. Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya
Al-Qasim bin Muhammad dan putera bibinya, Salim bin Abdullah bin Umar,
menjadi dua imam Madinah yang terpercaya. Keduanya menjadi tokoh yang
ditaati dan didengar perkataannya, meskipun keduanya tidak memiliki
wilayah jabatan ataupun kekuasaan. Masyarakat mengangkat keduanya kare
na sifat takwa dan wara'nya. Juga karena pusaka yang berada di dalam
dadanya berupa ilmu dan pemahamannya, ditambah lagi karena sifat
zuhudnya terhadap apa yang dimiliki oleh manusia serta berharap banyak
terhadap apa-apa yang berada di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Martabat
keduanya mencapai puncaknya hingga khalifah-khalifah Bani Umayah dan
para bawahannya hormat kepadanya. Penguasa- penguasa tersebut bahkan
tidak pernah memutuskan suatu masalah yang pelik kecuali setelah
mendengarkan pendapat kedua ulama tersebut. Sebagai contoh, ketika
Al-Walid bin Abdul Malik berkeinginan untuk memperluas Al-Haram Nabawi
yang mulia. Rencana ini tidak bisa dilaksanakan tanpa membongkar masjid
yang lama pada keem pat arahnya dan menggusur rumah istri-istri Nabi Sholallahu 'alaihi wasallam
untuk perluasan. Persoalan ini rentan dengan perpecahan antara kaum
muslimin dan menyakiti perasaan mereka. Mengingat hal ini, maka khalifah
menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz, wali Madinah, yang isinya
sebagai berikut: "Saya memandang perlunya memperluas Masjid Nabawi Asy
Syarif sampai 200 hasta persegi. Untuk kebutuhan ini, keempat dindingnya
perlu dirobohkan dan rumah istri-istri Nabi terpaksa kena perluasan.
Selain itu rumah-rumah yang ada di sekitarnya perlu dibeli dan kiblatnya
dimajukan kalau bisa. Anda mampu mewujudkan hal itu, mengingat
kedudukan Anda di antara paman-paman Anda adalah keturunan lbnul Khathab
dan besarnya pengaruh mereka di masyarakat. Jika penduduk Madinah
menolaknya, Anda bisa minta bantuan pada Al-Qasim dan Salim bin
Abdullah. Sertakan keduanya dalam rencana pemugaran dan perluasan ini.
Jangan lupa, bayarlah ganti rugi rumah-rumah rakyat dengan harga
setinggi mungkin. Bagi Anda pahala yang baik seperti yang dilakukan Umar
bin Khathab dan Utsman bin Affan." Dengan segera, gubernur Madinah
Umar bin Abdul Aziz mengun dang Al-Qasim bin Muhammad dan Salim bin
Abdullah bin Umar dan para pemuka kaum muslimin Madinah. Kepada mereka
dibacakan surat perintah khalifah yang baru saja diterima. Ternyata
mereka gem bira dengan apa yang direncanakan oleh Amirul Mukminin dan
siap sedia untuk mendukung rencana tersebut. Demi melihat imam-imam dan
ulama mereka turun tangan sendiri melaksanakan pemugaran masjid,
penduduk Madinah secara serentak turut membantu dan melaksanakan
sebagaimana yang diperintahkan amirul mukminin dalam suratnya. Di
tempat lain, pasukan muslimin terus mendapatkan kemena ngan gemilang.
Mereka berhasil menjatuhkan benteng-benteng mu suh di Konstantinopel dan
merebut kota demi kota di bawah pimpinan komandan yang tangkas dan
pemberani, Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan. Ini adalah awal
terbukanya Konstantinopel. Kaisar Romawi mendengar rencana pemugaran
dan perluasan masjid Nabawi, maka dia ingin menyenangkan dan mengambil
hati Amirul Mukminin. Dikirimnya 100 kilogram emas murni disertai 100
arsitek dari Romawi dan membawa ubin-ubin marmer yang indah. Bantuan
tersebut dikirimkan oleh Al-Walid kepada Umar bin Abdul Aziz. Wali
Madinah ini baru mau memanfaatkannya setelah terlebih dahulu
bermusyawarah dengan Al-Qasim bin Muhammad. Alangkah miripnya Al-Qasim
dengan kakeknya, Abu Bakar Ash- Shidiq Rodhiallahu 'anhu, sampai orang-orang berkomentar: "Tidak ada anak ke turunan Abu Bakar Rodhiallahu 'anhu
yang lebih mirip dengan beliau dari Al-Qasim. Dia begitu serupa dalam
akhlak, bentuk fisik, keteguhan iman maupun kezuhudannya..." Dan banyak
sekali sikap dan perbuatannya yang membuktikan hal ini. Sebagai contoh,
ketika ada seorang dusun datang ke masjid lalu bertanya kepada beliau:
"Siapakah yang lebih pandai, Anda ataukah Salim bin Abdullah?" Al-Qasim
berpura-pura sibuk sehingga si penanya mengulangi pertanyaannya. Beliau
menjawab: "Subhanallah." Pertanyaan itu diulang untuk ketiga kalinya,
lalu Al-Qasim ber kata: "Itu dia, Salim putera bibiku duduk di sebelah
sana." Orang- orang yang di majelis itu saling berbisik: "Sungguh mirip
dia dengan kakeknya. Dia tidak suka dan sangat benci untuk berkata: "Aku
lebih pandai," karena hal itu berarti menyombongkan diri. Namun dia ti
dak pula berkata: " Dia lebih pandai," Sebab itu berarti dusta, meng
ingat sebenarnya dia lebih pandai daripada Salim. Suatu ketika, di Mina
terlihat para jama'ah haji ke Baitullah berdatangan dari segala penjuru
negeri dan mereka bertanya tentang agama kepada Al-Qasim. Beliau
menjawab sebatas apa yang beliau ketahui. Kepada mereka yang menanyakan
masalah yang dia tidak menge tahuinya, tanpa rasa malu beliau berkata:
"Aku tidak tahu ... aku tidak mengerti ... aku tidak tahu." Nampaknya
orang-orang heran dan pe nasaran dengan jawaban tersebut, maka beliau
menegaskan kepada mereka: "Aku tidak tahu apa yang kalian tanyakan itu.
Seandainya saya tahu, tentu tidak akan aku sembunyikan. Sungguh
seseorang hidup dalam keadaan bodoh -selain berma'rifah kepada hak-hak
Allah- adalah lebih baik daripada seseorang mengatakan apa yang tidak
dia ketahui ilmunya." Pernah pula ketika beliau ditugaskan untuk
membagikan harta sedekah kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Maka beliau melaksanakannya sebaik mungkin dan memberikan bagian kepada
yang benar-benar berhak atasnya. Namun ada satu orang yang tidak puas
dengan bagiannya dan mendatanginya di masjid: Beliau tengah melakukan
shalat ketika orang itu datang dan bicara soal harta sedekah. Putera
Al-Qasim yang mendengarnya dengan dongkol berkata: "Demi Allah engkau
telah melem parkan tuduhan terhadap orang yang tidak sepeserpun
mengambil bagian dari harta sedekah itu dan tidak makan walau sebutir
kurma." Setelah menyelesaikan shalatnya, Al-Qasim menoleh kepada
puteranya seraya berkata: "Wahai puteraku, mulai hari ini janganlah
engkau berbicara tentang masalah yang tidak engkau ketahui."
Orang-orang berkata: "Apa yang dikatakan anaknya memang be nar, namun
beliau ingin mendidik putranya agar menjaga lidah dalam mencampuri
urusan orang lain. Al-Qasim bin Muhammad hidup sampai usia 72 tahun,
menjadi buta di hari tuanya. Dalam usianya yang lanjut, beliau menuju
Makkah untuk naik haji, dalam perjalanan inilah beliau wafat. Ketika
beliau merasa ajalnya telah dekat, beliau berpesan kepada puteranya:
"Bila aku mati, kafanilah aku dengan pakaian yang aku pakai untuk
shalat. Gamisku, kainku dan surbanku. Seperti itulah kafan kakekmu, Abu
Bakar Ash-Shidiq Rodhiallahu 'anhu. Kemudian ratakanlah makamku dan
segera kembalilah kepada keluargamu. Jangan engkau berdiri di atas
kuburanku seraya berkata: "Dia dulu begini dan begitu ... karena aku
bukanlah apa-apa.
Kisah Islami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar